Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani," ujar Al-Ghazali. Tidak demikian halnya dengan jiwa rohani atau jiwa manusiawi. Menurut Al-Ghazali, ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. AlGhazali adalah seorang filosof dan sufi dalam dunia islam. Dikenal sebagai seorang pemikir Islam yang produktif. Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di Ghazaleh, kota kecil di Thus (daerah khurasan) Iran, atau Meshed. Kematianmerupakan fenomena yang tidak terelakkan bagi semua makhluk, termasuk manusia. 43 Tahapan untuk Mengenali Hakikat Diri dan Tuhan. Tentunya, tujuan hidup yang sejati adalah meraih ridha Allah SWT. Petuah-petuah Imam al-Ghazali di dalam buku ini dapat menjadi pengingat bagi orang-orang dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kematianadalah salah satu syarat untuk memasuki alam akhirat, karena kehidupan di dunia dan akhirat sangat berbeda. Manusia adalah mahluk yang dapat hidup dengan perantara ruh yang sifatnya hanya sementara, dan jika waktu telah tiba untuk kembali, maka ruh akan kembali pada alam asalnya, yakni alam akhirat. Artinya, " Apabila seorang Muslim mati, iringilah jenazahnya" [HR. Muslim]. Dalam mengiringi jenazah ada beberapa adab tertentu yang hendaknya diperhatikan sebagaimana dinasihatkan Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 438), sebagai berikut: Kematianmenumbuhkan ketakutan tersendiri bagi sebagian orang. Sunday, 8 Zulhijjah 1442 / 18 July 2021 AlGhazali menjelaskan bahwa kedudukan akal dalam pandangan agama sebagai hal yang memiliki kaitan yang bersifat komplementer, seperti halnya antara mata dan cahaya, karena mata tidak mungkin dapat melihat bila tanpa ada cahaya, begitupun akal akan mendapatkan hidayah kecuali dengan syara'. Ibadahyang sia-sia tidak mengantarkan seorang hamba kepada keridlaan Allah dan surga Allah. Padahal tujuan dari ibadah tidak lain adalah ridla Allah dan surga Allah. Menurut Imam al-Ghazali, ibadah adalah buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil jerih payah hamba-hamba Allah yang kuat, barang berharga dari aulia' Allah, jalan yang ditempuh AlGhazali memandang bahwa jiwa paska kematian akan kembali kepada badan materi ini; dalam kondisi seperti ini apabila ia memiliki iman dan amal saleh di dunia maka ia akan memperoleh kenikmatan material dan spiritual secara sempurna. Halitu senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin bahwa kematian bukan sekedar sesuatu yang menakutkan, namun di dalamnya terdapat potensi yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam bahaya. Potensi bahaya itu akan muncul jika manusia tidak pernah memikirkan sedikit pun tentang hakikat kematian itu sendiri. tnNf. Oleh M. Taufik download lengkapnya pdf di sini Kebanyakan orang menyangka bahwa banyak sebab yang dapat menimbulkan kematian. Terserang penyakit berbahaya, kecelakaan lalu lintas, tenggelam karena banjir dll. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak tiap orang yang menderita penyakit berbahaya, atau mengalami kecelakaan lalu-lintas, tertimpa gedung runtuh lantas langsung mati, bahkan ada orang yang tadinya mengalami keadaan seperti itu, dokterpun sudah angkat tangan, namun akhirnya ia sehat wal afiat. Sementara orang yang sebelumnya sehat, tiba-tiba meninggal. Maโ€™รขsyiral muslimรฎn rahรฎmakumullรขh Allah mengabarkan kepada kita bahwa hanya ada satu sebab kematian, yakni datangnya ajal yang telah ditetapkan saatnya oleh Allah SWT. ูˆูŽู…ูŽุง ูƒูŽุงู†ูŽ ู„ูู†ูŽูู’ุณู ุฃูŽู†ู’ ุชูŽู…ููˆุชูŽ ุฅูู„ู‘ูŽุง ุจูุฅูุฐู’ู†ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูƒูุชูŽุงุจู‹ุง ู…ูุคูŽุฌู‘ูŽู„ู‹ุง โ€œSesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunyaโ€ Ali Imran 145 ููŽุฅูุฐูŽุง ุฌูŽุงุกูŽ ุฃูŽุฌูŽู„ูู‡ูู…ู’ ู„ูŽุง ูŠูŽุณู’ุชูŽุฃู’ุฎูุฑููˆู†ูŽ ุณูŽุงุนูŽุฉู‹ ูˆูŽู„ูŽุง ูŠูŽุณู’ุชูŽู‚ู’ุฏูู…ููˆู†ูŽ โ€œMaka jika telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat memajukannyaโ€ QS. al-Aโ€™raf34 Bila ajal seseorang datang, maka saat itulah dia mati, tidak peduli dia siap atau tidak, tidak peduli dia sakit atau sehat, tidak peduli dia tua, muda atau anak-anak. Tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya maupun memajukannya. Maโ€™รขsyiral muslimรฎn rahรฎmakumullรขh Keyakinan akan kematian seperti ini, merupakan salah satu landasan kekuatan umat Islam. Dengan keyakinan ini mereka tidak akan takut menyuarakan dan membela kebenaran walaupun banyak yang menentang dan mengancamnya, mereka justru berharap kematian mendatanginya saat dia melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Khalid bin al Walid sahabat yang telah menghadapi lebih dari 50 pertempuran besar, pernah hanya dengan 3 ribu pasukan menghadapi 200 ribu pasukan musuh dalam perang Muโ€™tah, pernah hanya dengan 40 ribu pasukan menghadapi 240 ribu pasukan musuh dalam perang Yarmuk, beliau ternyata meninggal dipembaringan, menjelang kematiannya beliau berkata ู„ูŽู‚ููŠู’ุชู ูƒูŽุฐูŽุง ูˆูŽูƒูŽุฐูŽุง ุฒูŽุญู’ูุงู‹ุŒ ูˆูŽู…ูŽุง ูููŠ ุฌูŽุณูŽุฏููŠ ุดูุจู’ุฑูŒ ุฅูู„ุงู‘ูŽ ูˆูŽูููŠู’ู‡ู ุถูŽุฑู’ุจูŽุฉูŒ ุจูุณูŽูŠู’ููุŒ ุฃูŽูˆู’ ุฑูŽู…ู’ูŠูŽุฉูŒ ุจูุณูŽู‡ู’ู…ูุŒ ูˆูŽู‡ูŽุง ุฃูŽู†ูŽุง ุฃูŽู…ููˆู’ุชู ุนูŽู„ูŽู‰ ููุฑูŽุงุดููŠ ุญูŽุชู’ููŽ ุฃูŽู†ู’ูููŠ ูƒูŽู…ูŽุง ูŠูŽู…ููˆู’ุชู ุงู„ุนููŠู’ุฑูุŒ ููŽู„ุงูŽ ู†ูŽุงู…ูŽุชู’ ุฃูŽุนู’ูŠูู†ู ุงู„ุฌูุจูŽู†ูŽุงุกู โ€œAku menghadapi banyak pertempuran besar, tidak ada satu jengkalpun di tubuhku melainkan ada bekas pukulan pedang, atau lemparan anak panah, dan inilah aku, mati di tempat tidur seperti keledai mati. Maka janganlah tidur mata para pengecut untuk memperhatikan hal ini baik-baikโ€ Siyaru Aโ€™lรขmin Nubalaโ€™, 1/382, Maktabah Syรขmilah Maโ€™รขsyiral muslimรฎn rahรฎmakumullรขh Namun tidak jarang seseorang menganggap bahwa ada selain Allah yang bisa memperlambat kematian, mengggap bahwa usaha dan harta yang dimilikinya itulah yang menjamin kehidupannya. Allah menyinggung mereka dengan menyatakan ูˆูŽูŠู’ู„ูŒ ู„ููƒูู„ู‘ู ู‡ูู…ูŽุฒูŽุฉู ู„ูู…ูŽุฒูŽุฉู โ€“ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠ ุฌูŽู…ูŽุนูŽ ู…ูŽุงู„ู‹ุง ูˆูŽุนูŽุฏู‘ูŽุฏูŽู‡ู โ€“ ูŠูŽุญู’ุณูŽุจู ุฃูŽู†ู‘ูŽ ู…ูŽุงู„ูŽู‡ู ุฃูŽุฎู’ู„ูŽุฏูŽู‡ู Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya[1], dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, QS. Al Humazah 1 โ€“ 3 Ketika harta sudah dianggap mampu menjamin berlangsungnya kehidupan, ketika dalam dada sudah menancap ketakutan akan kematian, maka tidak mengherankan jika akhirnya perjuangan ditinggalkan karena dianggap menghambat penghasilan, kebenaran diabaikan karena dianggap bisa mengancam keselamatan, penerapan syariโ€™ah dan penegakan khilafah tidak diprioritaskan karena dianggap mendatangkan ancaman dan kecaman, akibatnya penjajahpun bebas melenggang menguras kekayaan, mendangkalkan akidah dan keyakinan, merusak tatanan pergaulan, menginjak-injak syariโ€™ah Islam, dan semua itu bisa terjadi tanpa perlawanan yang berarti dari umat Islam. Rasulullah SAW bersabda ูŠููˆุดููƒู ุงู„ู’ุฃูู…ูŽู…ู ุฃูŽู†ู’ ุชูŽุฏูŽุงุนูŽู‰ ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ูƒูŽู…ูŽุง ุชูŽุฏูŽุงุนูŽู‰ ุงู„ู’ุฃูŽูƒูŽู„ูŽุฉู ุฅูู„ูŽู‰ ู‚ูŽุตู’ุนูŽุชูู‡ูŽุง ุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ ู‚ูŽุงุฆูู„ูŒ ูˆูŽู…ูู†ู’ ู‚ูู„ู‘ูŽุฉู ู†ูŽุญู’ู†ู ูŠูŽูˆู’ู…ูŽุฆูุฐูุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุจูŽู„ู’ ุฃูŽู†ู’ุชูู…ู’ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽุฆูุฐู ูƒูŽุซููŠุฑูŒุŒ ูˆูŽู„ูŽูƒูู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ุบูุซูŽุงุกูŒ ูƒูŽุบูุซูŽุงุกู ุงู„ุณู‘ูŽูŠู’ู„ูุŒ ูˆูŽู„ูŽูŠูŽู†ู’ุฒูŽุนูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูู†ู’ ุตูุฏููˆุฑู ุนูŽุฏููˆู‘ููƒูู…ู ุงู„ู’ู…ูŽู‡ูŽุงุจูŽุฉูŽ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ุŒ ูˆูŽู„ูŽูŠูŽู‚ู’ุฐูููŽู†ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูููŠ ู‚ูู„ููˆุจููƒูู…ู ุงู„ู’ูˆูŽู‡ู’ู†ูŽ ุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ ู‚ูŽุงุฆูู„ูŒ ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูุŒ ูˆูŽู…ูŽุง ุงู„ู’ูˆูŽู‡ู’ู†ูุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุญูุจู‘ู ุงู„ุฏู‘ูู†ู’ูŠูŽุงุŒ ูˆูŽูƒูŽุฑูŽุงู‡ููŠูŽุฉู ุงู„ู’ู…ูŽูˆู’ุชู โ€œHampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian umat Islam, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk besar.โ€ Seorang laki-laki berkata, โ€œApakah kami waktu itu berjumlah sedikit?โ€ beliau menjawab โ€œBahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari hati musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.โ€ Seseorang lalu berkata, โ€œWahai Rasulullah, apa itu Al wahn?โ€ beliau menjawab โ€œCinta dunia dan takut mati.โ€. HR. Abu Dawud dari Tsauban dg sanad shahih Maโ€™รขsyiral muslimรฎn rahรฎmakumullรขh Sungguh, kalau direnungkan betul-betul, keyakinan akan datangnya kematian hanya dari Allah, akan mampu mengerem seseorang dari tindak maksiyat, sekaligus mendorong seseorang untuk senantiasa berbuat taโ€™at, menjadikannya berani menghadapi rintangan apapun sekaligus takut melanggar ketentuan syariโ€™at Allah SWT. Tidak mengherankan jika dalam Tafsir Rรปhul Bayรขn 3/330, disebutkan bahwa Umar menulis di cincinnya ูƒูู‰ ุจุงู„ู…ูˆุช ูˆุงุนุธุง ูŠุง ุนู…ุฑ Cukuplah kematian itu menjadi penasihat wahai Umar Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang dapat memanfaatkan sisa hidup kita, umur kita, masa muda kita, sehat kita dengan sebaik-baiknya, sebelumnya semua lenyap dan berakhir. Semoga Allah meneguhkan langkah kita menapaki jalan kebenaran seterjal apapun jalan itu, dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada yang mampu memudharatkan kita kecuali atas izin Allah โ€™azza wa jalla. ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู‚ูุฑูุฆูŽ ุงู„ู’ู‚ูุฑู’ุขู†ู ููŽุงุณู’ุชูŽู…ูุนููˆุง ู„ูŽู‡ู ูˆูŽุฃูŽู†ู’ุตูุชููˆุง ู„ูŽุนูŽู„ู‘ูŽูƒูู…ู’ ุชูุฑู’ุญูŽู…ููˆู†ูŽ โ€“ ุงุนูˆุฐ ุจุงู„ู„ู‡ ู…ู† ุงู„ุดูŠุทุงู† ุงู„ุฑุฌูŠู… โ€“ูŠูŽุง ุฃูŽูŠู‘ูู‡ูŽุง ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ุขู…ูŽู†ููˆุงู’ ุงุฏู’ุฎูู„ููˆุงู’ ูููŠ ุงู„ุณู‘ูู„ู’ู…ู ูƒูŽุขูู‘ูŽุฉู‹ ูˆูŽู„ุงูŽ ุชูŽุชู‘ูŽุจูุนููˆุงู’ ุฎูุทููˆูŽุงุชู ุงู„ุดู‘ูŽูŠู’ุทูŽุงู†ู ุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ู„ูŽูƒูู…ู’ ุนูŽุฏููˆู‘ูŒ ู…ู‘ูุจููŠู†ูŒ ุจูŽุงุฑูŽูƒูŽ ุงู„ู„ู‡ู ู„ููŠ ูˆูŽู„ูŽูƒูู…ู’ ูููŠ ุงู„ู’ู‚ูุฑู’ุงูŽู†ู ุงู„ู’ุนูŽุธููŠู…ุŒ ูˆูŽู†ูŽููŽุนูŽู†ููŠ ูˆูŽุงููŠู‘ูŽุงูƒูู…ู’ ุจูู…ูŽุง ูููŠู’ู‡ู ู…ูู†ูŽ ุงู„ุงูŽูŠูŽุงุชู ูˆูŽ ุงู„ุฐู‘ููƒู’ุฑู ุงู„ุญู’ูƒููŠู’ู… ุงูŽู‚ููˆู’ู„ู ู‚ูŽูˆู’ู„ููŠ ู‡ูŽุฐูŽุง ูˆูŽุงูŽุณู’ุชูŽุบู’ููุฑูุงู„ู„ู‡ูŽ ุงู„ู’ุนูŽุธููŠู…ู’ โ€“ ู„ููŠ ูˆูŽู„ูŽูƒูู…ู’ ูˆูŽู„ูุณูŽุงุฆูุฑู ุงู„ู’ู…ูุณู’ู„ูู…ููŠู†ูŽ ููŽุงุณู’ุชูŽุบู’ููุฑููˆู‡ู ุงูู†ู‘ูŽู‡ู ู‡ููˆูŽุงู„ู’ุบูŽูููˆู’ุฑู ุงู„ุฑู‘ูŽุญููŠู…ู [1] karenanya dia menjadi kikir dan tidak mau menafkahkannya di jalan Allah * pernah saya sampaikan di Masjid Qardhan Hasana Bjb, namun tidak persis seperti yang ini Baca Juga Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI Y u s l i y a d i Yusliyadi Abstrak Dalam dekade terakhir ini, usaha pengkajian dan pengembangan ilmu pengatahuan dari waktu kewaktu semakin bertambah meningkat, terutama karena adanya kaitan dengan kecendrungan yang semakin tumbuh terhadap pemahaman dan penafsiran ajaran Islam secara rasional. Selain itu juga karena adanya keinginan untuk lebih memperkenalkan khazanah intlektual dan spiritual para cendikiawan muslim masa lampau sebagai suatu sisi lain dari pusaka budaya yang mereka wariskan. Salah satu diantaranya adalah Imam Al-Ghazali yang dikenal dengan gelar hujjatul islam, seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis. Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang ilmu pada zaman itu, seperti Al-Quran, Akidah, ilmu kalam, ushul fikh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan Batiniyah dan lain-lain. Adapun karya yang sangat menumental dan sekaligus membuatnya sangat dominan pengaruhnya dalam pemikiran ummat adalah Tahafut Al-Falsafah, Ihyaโ€™ ulumu ad-Din dan al-Munqidz minaโ€™ Dh-Dhalal. Al-Ghazali adalah seorang pemikir besar dalam sejarah pemikiran islam, beliau adalah seorang ahli hukum fikh, filosof dan sufi, dalam pemikiran Al-Ghazali mengakui fase-fase yaitu fase sebelum uzlah, masa uzlah dan sesudah uzlah. Usaha Al-Ghazali dengan sifat kritis beliau berusaha untuk mencari pengatahuan dan kebenaran hakiki termasuk mencari hakikat ilmu. Oleh karena dia memutuska untuk mencari kebenaran yang pasti dimana obyek yang diketahui dalam suatu cara tertentu yang sama sekali tidak memberikan peluang bagi masuknya keraguan, oleh karena itu beliau membagi ilmu menjadi dua. Ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk. Al-Ghazali adalah penegak tasawuf baru yang mengkompromikannya dengan fiqih dan teologi. Ketiga bidang itu sebelumnya merupakan bidang-bidang yang tidak pernah bisa bertemu, bahkan dipandang saling bertentangan satu sama lain. Kata kunci Ilmu, Al-Ghazali. A. Pendahuluan Ilmu merupakan hal penting dalam islam. Ia merupakan kebutuhan utama bagi manusia dalam mengemban peran sebagai kholifah di muka bumi ini, tanpa ilmu musthail seorang manusia mampu melangsungkan kehidupan sehari-hari didunia ini dengan baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib untuk diamalkan dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu tersebut sebenarnya adalah peluang manusia untuk mendapatkan drajat yang lebih baik, dengan dapat menzahirkan existensi manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetehuan, karena sebelumnya manusia lebih banyak berfikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologis yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan cetusan revolusi ilmiah itulah manusia pun mulai sadar bahwa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan di geluti secara sistematis dan rasional. Sejak abad ke-17, ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat, namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu dengan mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksekta seringkali diterapkan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya memerlukan metode yang khas. Akhirnya alternatife dalam metodologi untuk mengimbangi pendekatan timpang emperistis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia. Dalam kenyataannya makin banyak manusia, semakin banyak pula pertanyaan dan problematka keilmuan yang menyelimutinya. Manusia ingin mengetahui darimana dan bagaimana proses munculnya ilmu pengetahuan asal mula akunya sendiri, perihal nasibnya, perihal kebebasannya serta kemungkinan-kemungkinan. Orangpun semakin tidak puas dengan ilmu yang ada dan mereka terus mencari apakah hakikat ilmu itu, untuk apa dan bagaimana orang agar sampai kepada ilmu. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya filsafat sains yang bidang kajiannya tentu saja berbeda dengan kajian filsafat secara umum. Dengan argumen-argumen di atas manusiapun menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan mencari jawaban dari setiap pertanyaan keilmuan yang muncul. Dengan paradigma yang berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda yang mungkin lebih membahagiakan manusia. Sejarah sains juga telah membuktikan dalam peradaban Mesir, Cina dan Islam sendiri pernah ada suatu sistem pengetahuan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia-fisik, mental, dan spiritual dengan bersandar pada paradigma yang diyakini kebenarannya yang telah terbukti di mulailah gerakan pencarian alternatif-alternatif hakikat ilmu itu. B. Al-Ghazali dan Latar Belakang Kehidupannya Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun 1059 di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat arus khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur kemudian ke khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar pada Madrasah al-Nizamain adalah keluarga pemintal benang Wol Ghazali Shuf. Pada masa kanak-kanak beliau belajar fiqh di Tus pada Imam Al-Razkani, kemudian beliau pindah untuk belajar teologi, logika dan filsafat di Naisabur. Ia kemudian memperdalam ilmunya pada Madrasah Nizamiyyat di Bagdad di bawah bimbingan Imam Haramain. Pada Madrasah ini al-Ghazali mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Ia kemudian di angkat sebagai pemimpin Madrasah tersebut setelah Gurunya meninggal dunia dan tetap di sana selama empat tahun. Ayahnya juga seorang sufi yang sangat waraโ€™ dan meninggal ketika al-Ghazali berusia muda. Sebelum meninggal ia menitipkan al-Ghazali kepada sufi lain untuk memperoleh bimbingan. Untuk menambah pengalamannya al-Ghazali meninggalkan jabatannya sebagai Guru dan mengembara ke Siria, Mesir dan Mekkah, tetapi akhirnya kembali ke Naisapur selanjutnya ke Tus tempat kelahirannya. Di sanalah ia meninggal pada tanggal 14 jumadil Akhir pada tahun 505 H./9 januari 1111 M. Sebelum wafat yakni ketika beliau berada di Bagdad, ia selain mengajar juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, kaum Islamiyah dan para filosof. Pada saat itu \pulalah al-Ghazali senantiasa di bayangi oleh keraguan-keraguan terhadap apa yang pernah di ikhtiarkan sehingga ia pun mengidap penyakit yang tidak bisa diobati, ia kemudiann meninggalkan pekerjaanya dan berangkat ke Damsyik. Di kota inilah Mahdi Ghulsyani, The holy Qurโ€™an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qurโ€™an, Bandung Mizan, 1991, 21. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978, 41. Mahmud Qasim, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Maโ€™rif, 1997, 38. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996, 97-98. ia memperoleh inspirasi dan membuka jalan baginya untuk memilih jalan ber-uzlah sebagai cara terbaik dalam menapaki kehidupan jalan uzlah inilah al-Ghazali akhirnya memperoleh berkas cahaya dari Tuhan yang menentramkan jiwanya. Dia menemukan jalan hidup yang ia yakini dan dirasakannya penuh dengan kedamaian, yakni tasawuf. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi di samping tetap menghargai akal sebagai karunia Tuhan juga ada berupa nur yang dilimpahkan kepada hambanya yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Bagi al-Ghazali akal kadang kala menyeret seseorang kepada pemahaman yang menyesatkan apabila tidak di landasi iman yang kian hari semakin tekun beribadah dan berupaya untuk tidak terpengaruh dengan berbagai kesenangan duniawi dan segala tanda-tanda kebesaran. Ia bertahan dalam hidup dan dalam suasana yang serba kekurangan, larut dalam hidup kerohanian dan senantiasa mengutamakan kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam filsafat sufistik dan tokoh pembesar pembela Aqidah Islam. Setelah berkhalawat di tanah suci dan memperoleh apa yang dia cari ia berusaha untuk menyumbangkan segenap tenaga dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham Hakikat Ilmu Mengenai hakikat ilmu secara mutlak tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin ilmu tertentu, para ulama islam atau para pakar berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, a priori, yang dapat dikonsepsi sifatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari infrensial, tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit ulama Bayaniyyun mengakui sulitnya pendefinesian ilmu, sebab ternyata dikalangan mereka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisinya sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988, 166. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta Bumi Aksara, 1991, 68. Endang Daruni Asdi & A. Husnan Aksa, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981, 18. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007, 89. 1. Definisi Ibnu Rusyd 520-595 H/ 1126-1198 M ๎€‘๎‡พ๎ˆˆ๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ž๎ˆˆ๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†จ๎‡ง๎‡‚๎‡ ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎€ƒ๎…˜๎ˆˆ๎‡ฌ๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ€๎‚ข Artinya Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya Definisi Ibnu Hazm 384-456 H/ 924-1064 M ๎ˆ‚๎‡ฟ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡ฌ๎ˆˆ๎†ซ๎€ƒ๎€‘๎‡พ๎ˆˆ๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ž๎ˆˆ๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ Artinya Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana ralitasnya Definisi Juwaini 419-478 H dan Baqilani keduanya dari Asyโ€™ariyah, dan Abu Yaโ€™la dari Hanabilah sebagai berikut ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†จ๎‡ง๎‡‚๎‡ ๎‡ท๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎‚ฟ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ ๎€ƒ๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎‡พ๎†ฅ๎€‘ Artinya Ilmu adalah mengatahui objek ilmu sesuai Definisi Muโ€™tazilah ๎€ƒ๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎€ƒ๎‡พ๎†ฅ๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎€ƒ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ž๎ˆˆ๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ฎ๎†ข๎‡ฌ๎†ฌ๎‡Ÿ๎‚ค๎€ƒ๎‡ž๎‡ท๎€‘๎€‹๎€ƒ๎‡‚๎‡œ๎‡ป๎€ƒ๎ƒ‚๎‚ข๎€ƒ๎‚จ๎‚ฐ๎ƒ‚๎‡‚๎‡“๎€ƒ๎‡ž๎‡ซ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฆ๎‚ฏ๎‚ค๎€ƒ๎€Œ๎€ƒ๎†พ๎‡ฌ๎†ฌ๎‡ ๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎…„๎‚ฆ๎€ƒ๎‡†๎‡จ๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎…›๎‡—๎ˆ‚๎†ซ Artinya Ilmu adalah mengitikadkan mempercayai sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya bila ia muncul secara daruri atau nazari. Seperti dirumuskan Abd. Al-Jabbar bahwa Ilmu adalah ๎€‘๎†ค๎‡ด๎‡ฌ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†จ๎‡ผ๎ˆˆ๎‡ป๎‚ ๎†ข๎‡ธ๎‡—๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฐ๎†พ๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ฒ๎‡ด๎†ฏ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡†๎‡จ๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ€๎ˆ‚๎‡ฐ๎‡‡๎€ƒ๎ˆ„๎‡”๎†ฌ๎‡ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎‡ท Artinya Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman Definisi para filosof kuno ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ ๎ˆ†๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ€๎†ข๎‡ฏ๎€ƒ๎‚ ๎‚ฆ๎ˆ‚๎‡‡๎€ƒ๎‡บ๎‡ฟ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„พ๎€ƒ๎‡พ๎†ซ๎‚ฐ๎ˆ‚๎‡๎€ƒ๎‚ธ๎†ข๎†ฆ๎‡˜๎‡ป๎ƒ‚๎‚ข๎€ƒ๎‚๎‡ฒ๎‡ฌ๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒƒ๎†พ๎‡ณ๎€ƒ๎†ž๎ˆˆ๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚จ๎‚ฐ๎ˆ‚๎‡๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡๎†ท๎€ƒ๎‡พ๎‡ป๎€ƒ๎‚ ๎Šญ๎€ƒ๎‚๎†ข๎ˆˆ๎†Ÿ๎‡„๎†ณ๎€ƒ๎‚ฟ๎‚ข๎†ข๎ˆˆ๎‡ด๎‡ฏ๎€‘๎†ข๎‡ท๎ˆ‚๎‡ด๎‡ ๎‡ท๎ƒ‚๎‚ข๎€ƒ๎‚ฆ๎‚ฎ๎ˆ‚๎†ณ๎ˆ‚๎‡ท Artinya Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikuler, baik ada maupun Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 296. Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam,BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, 38. Al-Juwaini, Al-Irsyad, Mesir Matbaโ€™ah al-Madani, 1983, 12-13. Ibid., 14. 6. Definisi Asy-Syaukani w. 1255 H, dari family Zaidi yang didukung Qannuji, sebagai berikut ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎€‘๎†ข๎‡ท๎Šซ๎€ƒ๎†ข๎‡ง๎†ข๎‡ˆ๎‡ฐ๎‡ป๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ง๎ˆ‚๎‡ด๎‡˜๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎„‘๎€ƒ๎‡ฆ๎‡Œ๎‡ฐ๎‡ผ๎ˆ‡๎€ƒ๎†จ๎‡จ๎‡ Artinya Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna. 7. Sedangkan Eko Ariwidodo Dosen tetap mata kuliah ilmu logika, filsafat ilmu, dan hermeneutika di TBI IAIN Madura, berasumsi bahwa ilmu atau sains itu hanya berurusan semata-mata dengan fakta tidak mendapat dukungan dari praktek sains itu beberapa pandangan tentang pengertian ilmu diatas Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang lafazh, oleh karena itu Al-Ghazali menguraikan tiga definisi tentang ilmu tersebut, yaitu definisi esensial haqiqi, definisi formal-differensial rasmi, dan definisi redaksional-eksplanatif lafzi. Karena fungsi dan tujuan difenisi adalah memperjelas apa yang belum jelas, ia hanya diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tidak dapat dikonsepsi secara a priori seperti satuan makna simple. Ia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat ilmu itu a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendifenisian hakikat ilmu selalu terkait dengan konsep ontologis pembuatnnya. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu secara subtansial hanya satu tidak ada pemisahan pada ilmu lahir dan ilmu batin, kecuali dari segi itu, menurutnya dan menurut Al-Juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memproleh makna formal, dan dengan contoh untuk memproleh makna esensial. Dengan analisis ilmu berbeda dengan iradah kehendak, qudrah kemampuan dan sifat jiwa lain, Dan berbeda dengan Iโ€™tiqad presuposisi, zann dugaan kuat, syak skeptik, jahl ketidak tahuan dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik. Jika ilmu dengan syak dan zann karena pada dua yang terakhir tidak dapat Jaโ€™far Al-Sahbani, Nazariyyat al-Maโ€™rifah Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990, 20. Eko Ariwidodo, Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, Bairut Dar al-Fikr, jld. I, 145. kepastian jazm ia berbeda dengan Iโ€™tiqad dalam arti memastikan lebih dahulu satu dari dua alternatif dalam posisi yang sebenarnya posisi skeptik, disertai tasawwuf bersitegguh padanya tanpa menyadari kemungkinan benarnya alternatif lain. Iโ€™tiqad dalam arti ini, presuposisi sekalipun sesuai denga realitas objek substansinya sendiri merupakan salah satu bentuk jahl kebodohan, maskipun dari sudut relasinya dengan objek bisa berbeda dengan jahl, yakni bila sesuai dengan realitas objek. Dengan demikian hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuianya kepercayaan atau pernyataan denga realitas objek, tapi juga mengenai ilmu infrensial, harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek aspek ontologies, epistimologis dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali dan inilah yang diikuti dan dirumuskan Ar-Razi bahwa ilmu adalah putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah mujib menurutnya ada dua jalan untuk memperoleh ilmu, yaitu jalan a prori yang berupa akala a priori badihat al-aql dan empiri sensual dasar awaโ€™il al-hasisi, dan penalaran berdasarkan premis-premis yang berakar palan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Alloh untuk diikuti, maskipun bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengiktikadkan dan menyatakan sudah memiliki ilmu dan maโ€™rifah mengenai objek tersebut. Karena pernyataan yang pasti dari subjek selain Nabi tentang wahyu yang diterima Nabi dan sesuai dengan realitas wahyu dan Nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut juga disebut ilmu, sedangkan yang yang tanpa argument adalah Iโ€™tikad, dan yang tidak pasti adalah zann atau Al-Ghazali, ada tiga macam tasdiq assent secara gradual. Pertama zann dugaan kuat, yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak menghalangi kecondongan pada yang pertama. Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 133. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Kedua Iโ€™tiqad jazim kepercayaan yang teguh/tetap, yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti Nabi, hal itu menimbulkan keragua tertentu terhadap kepercayaannya. Inilah kepercayaan yang mayoritas kepercayaan mayoritas masyarakat awam dari kalangan muslimin, yahudi dan nashrani mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan mazhabnya bahkan mayoritas kepercayaan ahli kalam mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan argument-argumen dialektik atau apologetiknya yang mereka terima berdasarkan prasangka baik dan popularitas tokoh-tokohnya, serta penulakan secara a priori terhadap mazhab lain dan dibesarkan dalam tradisi ini sejak masa kanak-kanak. Ketiga ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar, yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau bahkan keliru, dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun. Kalaupun diinformasikan pernyataan yang berlawanan dari nabi, misalnya, dengan bukti kesalahan adalah mukjizatnya, hal ini tidak mempengaruhi pendapatnya, melainkan membuatnya menertawakan, membodohkan, mendustakan, dan menyalahkan pembawa informasi atau nabi palsu itu. Jika masih terlintas dibenaknya kemungkinan bahwa Alloh menjadikan nabi-Nya mampu melihat rahasia yang berlawanan dengan pendapat orang itu, putusannya itu bukahlah ilmu yaqini. Ilmu macam ini misalnya ilmu-ilmu a priori, misalnya bahwa sebagian lebih kecil dari keseluruhan, seseorang tidak berada didua tempat pada waktu yang sama, dan hukum-hukum kontradiksi lain, serta ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan yang pasti seperti itu, dengan mengatakan zann hanya bisa diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis amal dan ilmu amali, seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empirik-eksperimental tarbiyah, iman keyakinan keagamaan terbagi tiga kelas srecara gradual, yaitu iman awam, yang berdasarkan taqlid murni mengekor/ikut tanpa argument, iman mutakallimin, yaitu didukung oleh semacam argument, dan Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 43. iman arifin yang memiliki maโ€™rifah, yaitu dengan berdasarkan mukasyafah penyingkapan dan musyahadah penyaksian melalui riyadhah latihan spiritual dan mujahadah perjuangan drajad tasdiq/iman ini diumpamakan dengan tasdiq terhadap adanya si Zaid dirumah. Drajad pertama dicapai berdasarkan taqlid semata kepada orang yang menginformasikan hal itu, yang dipercayai berdasarkan pengalaman bahwa ia benar. Demikian iman awam yang memeluk agama warisan dari orang tua atau guru. Disini muslim sama saja dengan umat Yahudi dan Nashrani dari sudut mempercayai sesuatu tanpa argument. Hanya saja, mereka mempercayai yang salah, sedangkan muslim mempercayai yang benar. Drajat kedua, kita mendengar pembicaraan dan suara si Zaid dari dalam rumah sedangkan kita diluar rumah, sehingga kepercayaan kita lebih kuat ketimbang semata-mata berdasarkan informasi orang lain. Akan tetapi hal ini masih mengandung kemungkinan salah, sebab suara kadang bermiripan, maskipun kita tidak menyadarinya. Drajad ketiga, kita masuk kedalam rumah sehingga menyaksikan si Zaid secara langsung dengan mata kepala sendiri musyahadah. Inilah maโ€™rifah haqiqiyah penyaksian yang meyakinkan, yang mustahil mengandung kemungkinan salah. Drajad inipun gradual, sperti terangnya cahaya, kuatnya konsentrasi dan macam itulah ilmu yaqini yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari filsafat ilmunya, sperti dinyatakan sebagai berikut ๎–๎Ž‹๎ŽŽ๎˜๎Žค๎Ž‘๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎Ž‘๎ฎ๎ ๎„๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ง๎އ๎€ƒ๎ป๎ญ๎Žƒ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ฒ๎Žด๎”๎ง๎€ƒ๎ฒ๎“๎€ƒ๎Ž–๎ ๎˜๎“๎€ƒ๎€ƒ๎€‘๎ฒ๎ซ๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎˜๎ด๎˜๎Žฃ๎€ƒ๎ސ๎ ๎๎€ƒ๎Žช๎Ž‘๎ผ๎“๎€ƒ๎Žญ๎ฎ๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ช๎ง๎Žญ๎ŽŽ๎˜๎ณ๎ป๎ญ๎€ƒ๎ސ๎ณ๎Žญ๎€ƒ๎ช๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎˜๎Ž’๎ณ๎ป๎€ƒ๎ŽŽ๎“๎ŽŽ๎Žธ๎œ๎ง๎Ž๎€ƒ๎ก๎ฎ๎ ๎Œ๎ค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎’๎Žธ๎œ๎จ๎ณ๎€ƒ๎ฑ๎Žฌ๎Ÿ๎Ž๎ฎ๎ซ๎€ƒ๎ฒ๎จ๎ด๎˜๎ด๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎Ÿ๎Žฎ๎ˆ๎“๎€ƒ๎ฅ๎ฎ๎œ๎ณ๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎ฐ๎๎Ž’๎จ๎ณ๎€ƒ๎Ž„๎„๎Žจ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ฃ๎ท๎Ž๎€ƒ๎ž๎Ž‘๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Ž๎Žซ๎€ƒ๎Žฎ๎ณ๎Žช๎˜๎Ž˜๎Ÿ๎€ƒ๎ސ๎ ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Š๎Žด๎Ž˜๎ณ๎ป๎ญ๎€ƒ๎‹ฌ๎ข๎ซ๎ฎ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎‚๎ ๎๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎œ๎ฃ๎Ž๎€ƒ๎ผ๎Žœ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎ง๎ผ๎„๎Ž‘๎€ƒ๎Žญ๎ŽŽ๎ฌ๎…๎ŽŽ๎Ž‘๎€ƒ๎ฏ๎Žช๎Žค๎Ž—๎ฎ๎Ÿ๎€ƒ๎Ž”๎ง๎Žญ๎ŽŽ๎˜๎ฃ๎€ƒ๎ฆ๎ด๎˜๎ด๎ ๎Ÿ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎Žญ๎ŽŽ๎˜๎ฃ๎€ƒ๎Žฎ๎Ž ๎Žค๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ސ๎ ๎˜๎ณ๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎ŽŽ๎Ž’๎Œ๎Ž›๎€ƒ๎ŽŽ๎Žผ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎Ž’๎ซ๎Žซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ž๎Ž‹๎ŽŽ๎˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎๎ŽŽ๎—๎ญ๎€ƒ๎€‘๎Ž”๎Ž›๎ผ๎Žœ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎Žฎ๎Žœ๎›๎Ž๎€ƒ๎Ž“๎Žฎ๎Žธ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž–๎ค๎ ๎‹๎Žซ๎Ž๎€ƒ๎ฒ๎ง๎ŽŽ๎“๎€ƒ๎€‘๎ŽŽ๎ง๎ŽŽ๎œ๎ฃ๎Ž๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎œ๎Žท๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Ž๎Žซ๎€ƒ๎Ž™๎Žญ๎ฎ๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎š๎Žท๎Žƒ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎š๎Ÿ๎Ž๎Žซ๎€ƒ๎Ž•๎Žช๎ซ๎ŽŽ๎Žท๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ฌ๎Ž’๎ ๎—๎ญ๎€ƒ๎ŽŽ๎ง๎ŽŽ๎Ž’๎Œ๎Ž›๎€ƒ๎ŽŽ๎Žผ๎Œ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฉ๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ސ๎ ๎—๎Žƒ๎€ƒ๎ฒ๎ง๎Žƒ๎€ƒ๎ž๎ด๎Ÿ๎Žช๎Ž‘๎€ƒ๎Žฎ๎Žœ๎›๎Ž๎€ƒ๎Ž”๎Ž›๎ผ๎Žœ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ž๎Ž‘๎ป๎€ƒ๎ป๎Ž๎€ƒ๎ช๎จ๎ฃ๎€ƒ๎ช๎Ÿ๎€ƒ๎ž๎Žผ๎Žค๎ณ๎€ƒ๎ข๎Ÿ๎ญ๎€ƒ๎ฒ๎Ž˜๎“๎Žฎ๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฐ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž’๎Ž’๎Žด๎Ž‘๎€ƒ๎ŽŽ๎ค๎ด๎“๎€ƒ๎š๎Žธ๎Ÿ๎Ž๎ŽŽ๎ฃ๎Ž„๎“๎€ƒ๎€‘๎ช๎ด๎ ๎‹๎€ƒ๎ช๎Ž—๎Žญ๎Žช๎—๎€ƒ๎Ž”๎ด๎”๎ด๎›๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎ސ๎Ž ๎Œ๎Ž˜๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎ฆ๎ฃ๎€ƒ๎‰๎ฎ๎จ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ช๎จ๎˜๎ด๎Ž—๎Ž๎€ƒ๎ป๎ญ๎€ƒ๎ช๎ŽŸ๎ฎ๎Ÿ๎Ž๎€ƒ๎Ž๎Žฌ๎ซ๎€ƒ๎ฐ๎ ๎‹๎€ƒ๎ช๎ค๎ ๎‹๎Žƒ๎€ƒ๎ป๎ŽŽ๎ฃ๎€ƒ๎ž๎›๎€ƒ๎ฅ๎Žƒ๎€ƒ๎Ž–๎ค๎ ๎‹๎€ƒ๎ข๎Ž›๎€ƒ๎€๎ผ๎“๎€ƒ๎ช๎Ž˜๎ค๎ ๎‹๎€‘๎ฒ๎จ๎ด๎˜๎ณ๎€ƒ๎ข๎ ๎Œ๎Ž‘๎€ƒ๎Žฒ๎ด๎ ๎“๎€ƒ๎ช๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ป๎€ƒ๎ข๎ ๎‹๎€ƒ๎ž๎›๎ญ๎€ƒ๎ช๎Œ๎ฃ๎€ƒ๎ฅ๎ŽŽ๎ฃ๎Žƒ๎€ƒ๎ป๎ญ๎€ƒ๎ช๎Ž‘๎€ƒ๎Ž”๎˜๎Ž›๎ป๎€ƒ๎ข๎ ๎‹๎€ƒ๎ฎ๎ฌ๎“๎€ƒ๎ฆ๎ด๎˜๎ด๎Ÿ๎Ž Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Ibid., 99. Artinya Lalu aku berkata dalam diriku pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengatahui apa itu hakikat ilmu. Lalu, tampakkah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah sesuatu yang dengannya objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan dan kemungkinan salah serta wahm estimasi. Kalbu mimang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ia dinyatakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu menjadi emas, atau mengobah tongkat menjadi ular, misalnya, hal ini tidak menimbulkan sedikitpun keraguan atau kemungkian salah dalam diriku. Sebab, bila aku mengatahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan, tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10, dengan bukti bahwa aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu tidak menggoyahkan maโ€™rifah-ku dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptik dalam diriku tidak. Kemudian aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian sperti ini, adalah ilmu tak dapat dipengangi dan tidak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu yang tidak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu analitik dengan ketiga kereteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas sebenarnya merupakan refleksi pemikiran khususnya logika, para filosof sebelumnya sperti Alfarabi dan Ibnu Sina. Dan atas jasa Al-Ghazali-lah metode analitik dan klasifikasi kedalam ilmu, Iโ€™tiqad, zann, syak, wahm lawan zann dan jahl. Menjadi popular dan kokoh dalam kultur keilmuan islami sesudahnya, baik dalam ilmu kalam atau ilmu ushul fiqh dari berbagai mazhab. D. Penutup 1. Kesimpulan Al-Ghazali hidup ketika suasana pemikiran keagamaan dan kefilsafatan di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman, khususnya mengenai keragaman ilmu pengetahuan. Sejarah hidupnya menunjukan bahwa ia dalam usahanya mencari kebenaran menempuh proses yang panjang dengan mempelajari hampir seluruh sistem dan metode pemikiran pada masanya. Bagi al-Ghazali pengetahuan yang diperoleh melalui akal bisa saja salah karena pengetahuan yang di peroleh akal berhubungan dengan al-hiss dan al-wahm semata. Al-Ghazali menolak teori kausalitas para filosof, tetapi menerima metode demostratif mereka sebagai alat yang penting bagi pencapaian kepastian rasional dalam berbagi ilmu pengetahuan. Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal, Mesir Maktabah wa Marbaโ€™ah, 1952, 10. Bagi al-Ghazali bukan ilmu namanya kalau tidak membawa ketenangan dan kedamaian baik pada dirinya dan pada masyarakat luas. Daftar Pustaka Ghulsyani, Mahdi. The holy Qurโ€™an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qurโ€™an, Bandung Mizan, 1991. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978. Qasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Maโ€™rif, 1997. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam,Jakarta Bumi Aksara, 1991. A. Husnan Aksa, & Endang Daruni Asdi, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981. Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007. Rusyd, Ibnu. Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993. Ali Ibn Ahmad, Ibn Hazm, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam, BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, Al-Juwaini, Al-Irsyadd. Mesir Matbaโ€™ah al-Madani, 1983. Al-Sahbani, Jaโ€™far. Nazariyyat al-Maโ€™rifah, Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990. Ariwidodo, Eko. Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal,Mesir Maktabah wa Marbaโ€™ah, 1952. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanMahdi GhulsyaniGhulsyani, Mahdi. The holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanDirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rifMahmud QasimQasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rif, Beluk Filsafat IslamDkk PoerwantanaPoerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 HAKIKAT TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI Mokhamad Ali Musyaffaโ€™musyaffaโ€™ . Abstrak Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Kata kunci Hakikat, Tujuan Pendidikan Islam, Imam Al-Ghazali. Dosen FAI UNISDA Lamongan 2 PENDAHULUAN Pada dasarnya, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga peserta didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis peserta didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II Bandung CV. Pustaka Setia, 1997, 56-57. 3 Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain pada masanya. Sehingga beliau juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang ikut berkontribusi pada kemajuan yang dicapai di zamannya. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah kajian literatur dengan mengumpulkan berbagai macam literatur, seperti jurnal, buku, dokumen dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Analisis data dalam penelitian ini adalah; Pertama, mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, menelaah literatur yang bersangkutan kemudian menganilisisnya untuk menjawab fokus penelitian. PEMBAHASAN A. Biografi Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Adapun karya terpentingnya adalah โ€œIhyaโ€™ Ulumiddinโ€ yang sangat fenomenal. Buku lainnya yaitu โ€œAl- Munqidz Min Ad-Dhalalโ€, dalam buku ini beliau merekam Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan Bandung Alfabeta, 2003, 8. 4 perjalanan hidupnya sendiri mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada Al-Qurโ€™an dan Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari pengetahuan tentang ilmu kalam, filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki konsep Latar Belakang Keluarga Nama lengkap beliau adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Beliau keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz. Nama beliau kadang diucapkan Ghazzali dua z artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa adalah Ghazali satu z diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahiran beliau adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain wol dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berkhidmah kepada mereka. Ia ayah Al-Ghazali sering berdoโ€™a Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997, 177-179. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000, 85. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali Jakarta Bumi Aksara, 1991, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 9. 5 kepada Allah SWT agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah SWT atas doโ€™anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta Latar Belakang Pendidikan Setelah ayah beliau meninggal, Al-Ghazali dan saudaranya dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya lagi. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara. Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Syekh Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani. Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya beliau kembali ke Thusia lagi. Diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, Zainuddin, Seluk Beluk......, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiranโ€ฆโ€ฆ..., 10. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly Bandung Al-Maโ€™arif, 1986, 13. Imam Al-Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001, 109. 6 beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang oleh sekawanan pembegal kemudian merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi kitab-kitab filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan lalu mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya. Setelah peristiwa itu beliau menjadi semakin rajin menghafal dan mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menyimpan kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Imam Al-Haramain Wafat tahun 478 H atau 1085 M, dari beliau ini Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi beliau predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan โ€œLaut dalam nan menenggelamkan Bahrun Mughriqโ€. Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam Al-Mulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan ilmu pengetahuan, kefasihan lidah dan kejituan argumentasinya. Akhirnya menteri tersebut mengangkat beliau sebagai guru besar di sana Perguruan Al-Nidzomiyah. Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabulโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ, 14 7 sebagai seorang sufi pada tahun 488 H sambil menunaikan ibadah haji. Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra menurut beliau seringkali tidak benar. Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya. Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama. Di Syam beliau menulis kitab Ihyaโ€™ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad kemudian menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Naisabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jamaโ€™ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Naisabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thusia, kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M. B. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin Bandung PT. Al-Maโ€™arif, 2001, 20. Imam Al-Ghazali, Munqidh....., 177. 8 Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut beliau sungguh genius. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, beliau membuat keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya. Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan pada kebahagiaan akhirat. Namun Imam Ghazali tidak melalaikan ilmu pengetahuan yang seyogyanya dipelajari lantaran ilmu itu memiliki keistimewaan dan kebagusan. Beliau mengatakan โ€œIlmu itu adalah keutamaan pada dzatnya secara mutlak tanpa dibandingkan karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan Allah Yang Maha Suci. Dan dengan ilmu malaikat dan para nabi menjadi muliaโ€. Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Selanjutnya beliau berkata โ€œApabila kamu memandang kepada ilmu maka kamu melihat lezat pada dzatnya. Jadi ilmu itu di cari karena dzatnya, dan kamu mempelajari ilmu sebagai perantara ke perkampungan akhirat, menuju kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidaklah sampai kepadanya kecuali dengan ilmu. Sebesar-besar tingkat sesuatu adalah sesuatu yang menjadi perantaraan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya kecuali dengan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal kecuali dengan ilmu Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2005, 128. Imam Al-Ghazali, Ihyaโ€™ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri Semarang CV. Asy-Syifaโ€™, 1993, 41. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabulโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ, 25. 9 tentang cara mengamalkan. Pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, oleh karena itu mencari ilmu adalah seutama-utamanya amalโ€. Demikian Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau juga mengatakan โ€œManusia itu tergabung dalam agama dan dunia, agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah SWT. bagi yang mengambilnya sebagai tempat menetap dan tanah airโ€. Seiring dengan kepribadiannya, beliau tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya menurut Imam Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat semata-mata, tetapi harus mencakup keduanya. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. Berangkat dari uraian diatas, Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menyempurnakan manusia. Yakni manusia yang hidup bahagia di dunia pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Menurutnya manusia terdiri atas dua unsur jasad dan ruh jiwa, keduanya mempunyai sifat yang berbeda Imam Al-Ghazali, Ihyaโ€™โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ., 42. Zainuddin, Seluk Beluk..........., 46. Imam Al-Ghazali, Ihyaโ€™โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ., 42. 10 tetapi saling mengikat artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa. Begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali dengan adanya jasad. Sehingga walau jasad terpisah untuk sementara waktu dengan kematian, kelak akan dibangkitkan dan menyatu kembali untuk menerima balasan atas tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia. Menurut Abidin Ibn Rusn dalam bukunya โ€œPemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikanโ€ bahwa pendidikan menurut Imam Ghazali adalah proses memanusiakan sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah setelah memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri dan ilmu itu tidak dapat diperoleh manusia kecuali setelah melalui pengajaran. Dan dengan ilmu yang diperoleh, maka manusia akan dapat menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini tepat sekali. Sebagai implikasi dari Abidin Ibn Rusn, Pemikiranโ€ฆโ€ฆโ€ฆ...., 56. 11 tujuan pendidikan, umat Islam dalam menuntut ilmu untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh dimana saja bahkan di negara anti Islam sekalipun. Dengan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah selanjutnya manusia dapat menguasai profesi-profesi tertentu kedokteran, pertanian, perusahaan dan manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Maka dalam tujuan-tujuan pendidikan ini diharapkan dapat terwujudnya kemampuan manusia yang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik. Ilmu itu untuk diamalkan karena hal itu merupakan langkah awal seseorang dalam belajar guna untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syariโ€™at dan misi bukan untuk mencari kemegahan duniawi. Mengejar pangkat atau popularitas. Imam Al-Ghazali berkata โ€œBarang siapa mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan ilmunya maka dialah orang yang disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. Ia seperti matahari yang menerangi kepada lainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedangkan ia sendiri harum. Sedangkan orang yang mengetahui dan tidak mengamalkannya adalah seperti buku yang memberi faidah kepada lainnya padahal ia sendiri kosong dari ilmuโ€. Jadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu yang diamalkan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa ilmu itu dikaitkan dengan maโ€™rifat artinya pengetahuan atau pengenalan manusia terhadap Tuhannya dengan mata batin Imam Al-Ghazali, Ihyaโ€™........, Jilid 1, 170. 12 kemudian merefleksikannya dalam seluruh tingkah laku yang bernilai penghambaan kepada-Nya. Selain itu Al-Ghazali melihat maโ€™rifat sebagai upaya untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya dan penuh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Karena Dia-lah yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Beliau juga memandang bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali yakni akhirat. Jadi dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi akan rusak, dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Dan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup akhirat yang utama dan abadi adalah dunia dengan mencari kebahagiaan akhirat yang merupakan sarana untuk mengantarkan makhluknya kepada Allah SWT. bagi orang yang mengambil dunia sebagai tempat tinggal permanen bukan tempat tinggal yang abadi. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat sarana. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat Al-Hadid ayat 20 ๎˜ƒ๎ฃถ๎ฆญ๎ฃธ๎งญ๎ฃต๎ฆญ๎ฃต๎ง๎ฃธ๎งŸ๎ฆ๎˜ƒ๎ฃต๎ง‰๎ฆŽ๎ฃด๎ฆ—๎ฃด๎งฃ๎˜ƒ ๎ฅ‰๎งป๎ฃถ๎ฆ๎˜ƒ๎ฌธ๎ฆŽ๎ฃด๎งณ๎ฃธ๎งง๎ฅŠ๎ฆฉ๎งŸ๎ฆ๎˜ƒ๎ฃต๎ฆ“๎งญ ๎ฌป๎งณ๎ฃด๎ฆฃ๎ฃธ๎งŸ๎ฆ๎˜ƒ๎ฆŽ๎ฃด๎งฃ๎ฃด๎งญ Artinya โ€œ Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipuโ€. Tujuan pendidikan yang diinginkan adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengamalan akhirat. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, disamping itu juga manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ain dan apabila manusia hanya menekuni M. Solihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2001, 34. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qurโ€™an dan Terjemahnya Semarang Al-Waah, 1993, 903. 13 ilmu fardhu kifayah saja, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah bahkan semakin jauh dari-Nya. Dan hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin lama seorang duduk di bangku pendidikan semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah SWT. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan fadhilah keutamaan melalui pengetahuan, dimana sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu yang diamalkan untuk kebahagiaan di dunia dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. akibatnya dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat. Berangkat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan secara umum menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut 1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Abidin Ibn Rusn, Pemikiranโ€ฆโ€ฆโ€ฆ....,58. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabulโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ, 25. Abidin Ibn Rusn, Pemikiranโ€ฆโ€ฆโ€ฆ....,60. 14 KESIMPULAN Dari hasil studi terhadap pemikiran Imam Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Meskipun demikian, beliau tidak mengesampingkan masalah-masalah duniawi, karenanya beliau masih memberi ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan ilmu duniawi. Dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi, diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat tak lain adalah ilmu. 15 DAFTAR PUSTAKA Ainin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qurโ€™an dan Terjemahnya, Semarang Al-Waah, 1993. Al-Ghazali, Imam, Ihyaโ€™ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri, Semarang CV. Asy-Syifaโ€™, 1993. Al-Ghazali, Imam, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001. Al-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Maโ€™arif, 2001. Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2005. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000. Rusn, Abidin Ibn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998. Sadullah, Uyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung Alfabeta, 2003. Solihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly, Bandung Al-Maโ€™arif, 1986. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung CV. Pustaka Setia, 1997. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta Bumi Aksara, 1991. . Ali ImronAri Saidul MujazinMoral education plays an important role in forming superior human beings. This paper aims to describe the moral values contained in poetry or Geguritan "Nurani Peduli" by Handoyo Wibowo and look at the process of internalizing these moral values in students of the Baitul Huda Islamic elementary school Semarang city through the Javanese language course. In addition, this paper also aims to see the implications of internalizing these moral values for students. This paper uses a qualitative-phenomenological type of research that uses students, teachers, and school principals as research subjects. Based on the results of the study it was concluded that First, the moral values contained in geguritan include harmony, wisdom, humility, awareness, and development of taste. Second, the internalization process is carried out in three stages, namely the information stage by providing material on the moral values contained in Geguritan "Nurani Peduli", the appreciation stage through direction and guidance and exemplary students, and the value application stage by providing motivation and encouragement to students to apply good grades in the form of actions. Third, the implications of internalization can be seen from three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor. Characterized by the integration of learning materials with an attitude of empathy, awareness, tolerance, and a sense of responsibility in social AininAhmadAinin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, ImamDan PenerangAl-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma'arif, Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-GhazaliM SolihinSolihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001.